BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kecerdasan
merupakan hal yang sangat sulit untuk diartikan. Apakah kecerdasan itu?. Apa
yang dimaksud dengan kecerdasan?. Pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab.
Ahli psikologi banyak mengartikan pengertian yang berbeda bagi pemahaman kecerdasan,
bahkan tidak sepakat tentang apakah kecerdasan adalah satu hal keseluruhan atau
kumpulan elemen yang berbeda. Sebagai contoh, kamu hanya seorang yang cerdas
atau kecerdasan terbuat dari aspek yang berbeda, seperti ketrampilan verbal,
ketrampilan logika, etc.
Bagaimanapun,
pada umumnya kecerdasan dilihat lebih merujuk kepada “perbedaan dalam kemampuan
mendapatkan informasi, untuk berfikir dan berargumen yang baik dan untuk
menghadapi lingkungan secara efektif. dan memadai” (Cardwell, Clark dan
Meldrum, 2000:460). Beberapa aspek kecerdasan dapat diukur dan aspek ini diukur
dengan uji kecerdasan. Hal ini sangat penting untuk diingat bahwa tes ini hanya
mengukur aspek kecerdasan tertentu. dapat dikatakan bahwa mereka berbicara
tingkat intelektual bukan kecerdasan. Sehingga
hanya mungkin terjadi untuk mengukur aspek kecerdasan tertentu dan perkembangan
ini mengukur aspek-aspek yang menjadi
pembahasan dalam bab ini.
1.2.
Batasan Masalah
Batasan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah:
1.
Faktor yang menyebabkan
pengukuran kecerdasan
2.
Faktor genetika dalam
pengukuran kecerdasan
3.
Faktor lingkungan
4.
Perkembangan terakhir dalam
studi mengenai kecerdasan
5.
Uji kecerdasan dan bias
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan adalah untuk mengetahui faktor yang menyebabkan pengukuran kecerdasan
baik dari faktor genetika dan factor lingkungan, serta bagaimana perkembangan
terakhir dalam studi mengenai kecerdasan, yang di uji melalui uji kecerdasan
dan bias.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran intelegensi (kecerdasan)
Banyak perdebatan
yang muncul dalam menentukan faktor-faktor yang menyebabkan kecerdasan tentang
apa yang menjadi kecerdasan sebenarnya. Sejarah penelitian tentang kecerdasan sangat luas. Menariknya difokuskan
pada apa yang menjadi penyebab invidual yang bervariasi dalam tingkat kecerdasan.
Pembagian yang paling mendasar diantaranya adalah genetika (alami) dan faktor
lingkungan (mendidik). Faktor yang bukan disebabkan oleh genetika atau faktor
lingkungan meliputi semua hal yang tidak dapat diturunkan. Faktor ini bukan
hanya rangsangan lingkungan dan pengasuhan orang tua, tapi juga nutrisi,
penyakit, status sosial ekonomi, dll. Oleh karena itu pengetahuan dan penalaran
secara genetika pra-terstruktur, dan empiris, yang menyarankan bahwa
pengetahuan dan penalaran berasal dari pengalaman dan maka pemikiran dibangun
dan terorganisir untuk dipertimbangkan dan memahami pengalaman ini (Richardson,
1999). Dapat disimpulkan bahwa faktor genetika dan faktor lingkungan merupakan
faktor yang paling mendasar dalam mempengaruhi kecerdasan pada pembahasan ini.
2.1.1.
Faktor genetika
Faktor
genetika merupakan faktor kecerdasan yang ada pada seseorang yang diturunkan
dari keturuanan (orang tua). Penelitian mengenai faktor genetika dalam
pengukuran intelegensi (kecerdasan), adalah sebagai berikut:
a.
Studi anak kembar
Banyak penelitian
yang dirancang untuk menyelidiki pengukuran perkembangan kecerdasan yang
meliputi anak kembar. Alasannya adalah untuk mencoba dan membandingkan individu
yang pembagian genetiknya sama. Dengan cara ini diharapkan dapat menggambarkan
kesimpulan tentang faktor yang menyebabkan kecerdasan lebih lanjut, genetika
atau lingkungan. Salah satu cara untuk membandingkan individu dengan
menggunakan penilaian IQ. Untuk mengetahui skor uji IQ seorang invidu yang akan
diberikan ke individu tersebut, uji ini akan mengukur faktor seperti penalaran
matematika, ketrampilan berbicara, dll. Setelah uji individu selesai maka skor
IQ akan dijumlahkan, pada umumnya skor IQ kecerdasan yang semakin tinggi maka
skor IQ semakin banyak pada seseorang maka dianggap cerdas. Bagaimanapun, hal
ini sangat penting untuk disadari bahwa ada beberapa masalah dengan uji IQ
(lihat uji kecerdasan dan uji bias halaman 75). Pendapat dari segi genetika dan
kealamian diselidik dengan menggunakan uji IQ. Jika seseorang secara genetika
sama tapi mempunyai penilaian IQ yang berbeda, kemudian disarankan bahwa
lingkungan yang menyebabkan penentuan kecerdasan.
Kembar
monozigotik (MZ) membagikan materi genetik yang sama karena mereka berasal dari
sel telur yang sama dan kemudian disebut “kembar identik”. Kembar dizigotik
(DZ) berasal dari dua sel telur yang terpisah dan kemudian seperti saudara
kandung secara genetika, satu-satunya perbedaan adalah bahwa mereka membagi
pengalaman pra-lahir yang sama, tidak seperti saudara kandung yang berada di
rahim terpisah.
Penelitian
biasanya membandingkan uji skor IQ dua anak kembar dan memberikan gambaran
hubungan. Suatu hubungan korelasi dari 1 korelasi sempurna dan akan berarti jika
nilai persis sama. Semakin jauh dari angka 1 korelasinya maka hal itu , kurang
bermakna. Sebagai contoh, sebuah peneilitian yang diberikan sebuah korelasi
0,89 maka akan menunjukkan hubungan yang tinggi diantara dua skor IQ, tapi satu
yang dihasilkan dalam suatu korelasi dari 0,2 yang menunjukkan hubungan yang
sangat rendah dan kesamaan antara skor.
Shields
(1962) melakukan salah satu penelitian terhadap studi anak kembar dengan cara
beberapa anak kembar dibesarkan bersama-sama, sebagian terpisah. Tingkat IQ
anak kembar, diuji dan dibandingkan. Kembar monozigotik berkorelasi 0,77 bagi
mereka yang dibesarkan terpisah dan 0,76 bagi mereka yang dibesarkan bersama.
Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan mempunyai sedikit penyebab suatu
kecerdasan karena memiliki korelasi yang paling identik Jika lingkungan
merupakan suatu faktor penyebab dalam perkembangan kecerdasan maka kita akan
berharap ada perbedaan yang jauh lebih besar di antara korelasi ini.
Evaluasi
Penelitian
ini terlihat memberikan bukti yang jelas bahwa kecerdasan ditentukan oleh
genetika tapi dikritik keras, terutama oleh Kamin (197). Dia menyatakan bahwa jumlah sampel Shields adalah
kecil. Dia juga mengklaim bahwa beberapa anak kembar dalam penelitian ini
dibesarkan bersama-sama dan yang lainnya dipisahkan sehingga menemukan hal yang
diragukan. Hal ini bukan seperti pembagian yang jelas, kemudian Kamin (1977) meninjau
penelitian dan memukan bahwa seringkali anak kembar dikatakan telah dibesarkan secara
terpisah, dan benar-benar menghabiskan banyak waktu bersama-sama. Kembar monozigotik
(MZ), hanya 14 anak yang dibesarkan secara terpisah setelah umur satu tahun dan
sering diadopsi oleh kerabat dan melanjutkan untuk melihat satu sama lain. Hal
ini juga dikenal bahwa lembaga pengadopsian mencoba untuk mencocokkan keluarga
angkat dengan anak-anak. Bagian pencocokan ini mencoba untuk menempatkan
anak-anak pada lingkungan yang sama untuk membuat pengadaptasian lebih mudah.
Kemudian tidak menutup kemungkinan untuk mengatakan bahwa lingkungan anak
kembar yang dibesarkan sangat berbeda secara siginifikan ketika mereka
dibesarkan terpisah. Masalah ketiga adalah seperti Piaget, Shield melakukan
percobaan terhadap diri sendirinya dan seperti Piaget telah dituduh melakukan
eksperimen bias. Juga suatu korelasi yang sempurna 1.00, jadi bagaimana
menjelaskan penyebab perbedaan antara hasil Shields dan 1.00? hal itu bisa menyarankan bahwa perbedaan ini disebabkan lingkungan
dan karena faktor lingkungan dapat dilihat sebagai pengaruh. Anggapan bahwa
kembar monozigot identik juga membuka suatu pertanyaan. Mereka cenderung memiliki
pengalaman melahirkan yang berbeda dan juga dapat dibesarkan serta berkaitan
dengan perbedaan oleh orang tua yang berbeda. Kemudian pengalaman mereka tidak dapat
dikatakan sepenuhnya identik dan oleh karena itu mereka bukan sepenuhnya
identik (Flanagan, 1997).
Penelitian
lain yang menggunakan anak kembar juga dilakukan. Kaufman (1999) , serta
Bouchard dan McGue (1981) melakukan peninjauan sejumlah studi seperti itu.
Pederson, dkk (1992) melakukan pengadopsian Swedia atau penelitian kembar
penuaan dan Newman, dkk (1928) juga menyelidiki perbedaan IQ pada kembar
monozigot dan kembar dizigotik. Hasil penelitian ini ditunjukkan pada tabel
4.1. Tabel menunjukkan bagaimana jenis sampel yang terdiri dari, bagaimana
kondisi mereka ketika dibesarkan bersama atau terpisah dan korelasi diantara
skor IQ mereka ketika di uji.
Tabel 4.1 Ringkasan Penelitian Anak Kembar
Peneliti
|
Jenis Anak Kembar
|
Lingkungan
|
Korelasi Skor IQ
|
Kaufman
(1999)
|
MZ
|
Tidak
ditetapkan
|
0,86
|
DZ
|
Tidak
ditetapkan
|
0,60
|
|
Bouchard
& McGue (1981)
|
MZ
|
Tidak ditetapkan
|
0,85
|
DZ
|
Tidak ditetapkan
|
0,58
|
|
Pederson
dkk (1992)
|
MZ
|
Dibesarkan
terpisah
|
0,79
|
Dibesarkan
bersama-sama
|
0,79
|
||
DZ
|
Dibesarkan
terpisah
|
0,32
|
|
Dibesarkan
bersama-sama
|
0,22
|
||
Newman
dkk (1928)
|
MZ
|
Dibesarkan
terpisah
|
0,67
|
Dibesarkan
bersama-sama
|
0,91
|
Hasil
penelitian ini menyarankan bahwa faktor genetika lebih berpengaruh pada tingkat
kecerdasan dibandingkan dengan faktor lingkungan sebagai anak kembar yang pembagian
materi genetiknya sama (kembar monozigotik) mempunyai korelasi yang tinggi dibandingkan
anak kembar dizigotik bagaimanapun mereka telah dibesarkan. Dalam hal ini
menunjukkan bahwa faktor genetik yang paling penting dalam menentukan tingkat kecerdasan.
Pederson, dkk (1992) menunjukkan bahwa sekitar 80% IQ diwariskan. Pada
penelitian lebih lanjut Bouchard, dkk (1990) meninjau lebih dari 100 anak
kembar dalam penelitian Minnesota pada anak kembar yang dibesarkan terpisah.
Mereka menemukan bahwa 70% skor IQ selama ini adalah faktor genetika. Kaufman
(1999) menunjukkan bahwa persentase pewarisan untuk IQ sekitar 50%. sekali lagi
hal ini merupakan bukti yang meyakinkan bagi pengaruh genetika.
Bagaimanapun,
jika kita melihat kembali kecaman yang dibuat dari penelitian Shields dapat dilihat
bahwa penelitian mereka sama-sama bisa diterapkan pada penelitian ini. Mereka
juga bisa dituduh menggunakan sampel kecil, mengklaim pemisahan anak kembar
ketika beberapa hubungan yang tetap, kegagalan untuk mengenali proses
pencocokan pengadopsian, penguji bias, kegagalan
untuk mengenali bahwa anak kembar identik tidak memiliki pengalaman yang sama
dan kegagalan untuk berkomentar mengenai kurangnya hubungan yang sempurna.
Dalam sebuah penelitian anak kembar
yang terakhir dilakukan di Australia
ditemukan bahwa setidaknya 50% dan mungkin 65% dari variasi dalam pencapaian
pendidikan dapat dikaitkan dengan genetika. Penelitian ini menunjukkan bahwa
hanya 25% dari variasi dalam keberhasilan pendidikan bisa disebabkan oleh
faktor lingkungan (Miller, Mulvey, & Martin, 2001). Penelitian ini
memberikan dukungan bagi pengaruh genetika pada kecerdasan dan prestasi
pendidikan.
Penelitian
anak kembar skala besar lainnya, yang terkahir dilakukan, telah memberikan
dukungan lebih lanjut untuk pengaruh genetika pada perkembangan kecerdasan yang
diukur. Dalam penelitian ini 209 pasang kembar diuji pada usia 5, 7, 10 dan 12
tahun. Hasil dari tes IQ menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
pewarisan pada semua usia dan pengaruh genetika meningkat seiring dengan usia. Penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh genetik adalah penyebab utama stabilitas dalam
kemampuan kognitif, sekali lagi yang mendukung gagasan bahwa kecerdasan mungkin
sebagian besar ditentukan secara genetik (Bartels, Rietveld, Van Baal, &
Boomsma, D., 2002).
Alarcon,
Knopik, dan DeFries (2000) mempelajari anak-anak yang memiliki kemampuan matematika
dan kemampuan kognitif umum. Mereka menemukan bahwa 90% adanya keragaman
kinerja dalam matematika dan 80% adanya keragaman kinerja dalam kognitif umum yang
disebabkan oleh genetika.
De Geus,
Wright, Martin, dan Boomsma (2001) telah memberikan ringkasan penelitian
terhadap efek pengaruh genetik pada perbedaan individu dan kemampuan kognitif,
dan telah menemukan bukti keberadaan pengaruh genetik yang substansial.
b.
Kajian Keluarga
Disamping
penelitian terhadap anak kembar, penelitian keluarga atau kekerabatan telah
dilakukan, penelitian ini menggunakan mereka sebagai peserta yang memiliki hubungan sedarah. Sekali lagi
alasannya adalah karena peserta berbagi beberapa informasi genetik.
Bouchard
dan McGue (1981) meninjau sejumlah besar penelitian anak kembar dan kekerabatan
untuk mencoba menentukan faktor apa yang paling berpengaruh dalam perkembangan
kecerdasan. Penemuan mereka disajikan dalam Tabel 4.2. Kajian studi ini
memberikan dukungan untuk genetika - semakin dekat hubungan genetik, semakin
tinggi korelasi skor IQ.
Tabel 4.2 Bouchard dan McGue (1981) Kajian Korelasi Keluarga
Hubungan
|
Lingkungan
|
Korelasi
|
MZ
|
RA
|
0,72
|
DZ
|
RT
|
0,60
|
MZ
|
RT
|
0,86
|
DZ
|
RT
|
0,60
|
Saudara
Kandung
|
RT
|
0,47
|
Saudara
Kandung
|
RA
|
0,24
|
Keterangan: RA – dibesarkan terpisah
; RT – dibesarkan bersama
Evaluasi
Pada saat mempertimbangkan hasil dapat dilihat
bahwa masih ada korelasi yang tidak sempurna, sehingga tidak semua nilai IQ
dapat ditentukan oleh genetika. Selain itu sulit untuk membuat perbedaan yang
jelas antara pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan. Saudara dan anak kembar yang
dibesarkan bersama-sama tentunya berbagi informasi genetik yang sama, tetapi
juga pada lingkungan yang sama, sampai batas tertentu. Oleh karena itu sulit
untuk menentukan apakah itu merupakan lingkungan yang membagi mereka sehingga membuat
korelasi yang tinggi dalam skor IQ. Hal ini tentunya terlalu berlebihan untuk
menganggap pembagian informasi genetik bersama yang mempengaruhi skor.
Pada akhirnya hal itu merupakan keuntungan
untuk mengelompokkan bersama sejumlah penelitian dan meninjaunya, tetapi dengan
begitu kita mengelompokkan bersama tes yang berbeda. Oleh karena itu sulit
untuk memastikan semua penelitian yang digunakan adalah sama dan penelitian ini
membuat hasil yang dipertanyakan.
Namun, baru-baru ini sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Segal, Weisfeld, G. & Weisfeld, C., (1997). Dia mempelajari
saudara yang tidak terkait pada usia yang sama dibesarkan bersama-sama dari
bayi (hal ini sama dengan anak kembar DZ). Temuannya menghasilkan sebuah
korelasi IQ hanya 0,17. Temuan ini menantang gagasan berbagi pengalaman yang
menghasilkan suatu tingkat IQ yang sama
dan mendukung teori bahwa informasi genetik ditentukan oleh IQ. Segal
menyarankan bahwa individu merespon lingkungan berdasarkan kecenderungan
genetik mereka. Dengan kata lain, lingkungan berinteraksi dengan genetika, tapi
genetika adalah hal yang terutama dalam menentukan IQ.
Demikian juga, Kaufman (1999) melakukan
penelitian dan ia menemukan bahwa korelasi antara orangtua biologis dan seorang
anak yang hidup bersama (0.42) lebih tinggi dibandingkan hubungan antara
orangtua angkat dan anak yang tinggal bersama-sama (0,19). Sekali lagi, hal ini
menunjukkan pentingnya pengaruh genetik terhadap pengaruh lingkungan yang lebih
dalam menentukan IQ. Pada akhirnya Kaufman (1999) juga membandingkan hubungan
saudara kandung, setengah saudara dan sepupu. Korelasi untuk saudara adalah
0,47, sebagaimana dibandingkan dengan 0.31 untuk setengah saudara dan 0,15
untuk sepupu, sekali lagi, penelitian ini menyarankan pentingnya pengaruh genetik.
c.
Penelitian
Pengadopsian
Bab ini
telah mengkaji penelitian terhadap anak kembar dan kajian keluarga, dan telah
ditemukan kekurangan dengan kedua metode penyelidikan kecerdasan yang diukur.
Metode lain yang digunakan adalah untuk mempelajari anak-anak yang telah
diadopsi dan membandingkan skor IQ mereka bersama orang yang telah melahirkan
mereka atau orangtua kandung dan orang tua angkat mereka. Alasannya adalah
bahwa anak-anak akan berbagi informasi genetik mereka dengan orangtua kandung
mereka dan informasi lingkungan mereka atau pengalaman dengan orang tua angkat
mereka. Beberapa penelitian ini sekarang akan dijelaskan dan dievaluasi.
Horn
(1983) melakukan penelitian di Texas di mana lembaga pengadopsian terbesar
memberikan data yang membuat penelitian memungkinkan. Ibu yang tidak disebutkan
namanya dari 469 anak-anak yang diadopsi setelah lahir diberi tes IQ. Anak-anak
ditempatkan dalam 300 keluarga angkat. IQ dari ibu angkat juga diukur. Korelasi
IQ adalah 0,15 untuk ibu angkatnya dan 0,28 untuk ibu kandungnya. Hal ini
menunjukkan beberapa pengaruh genetik pada kecerdasan.
Plomin
(1988) mengikuti anak-anak yang terlibat dalam penelitian di atas dan terakhir
nilai IQ mereka pada usia 10 tahun. Mereka memiliki korelasi hanya 0,02 dengan
saudara angkat mereka. Sekali lagi ini membuktikan bahwa pembagian lingkungan tidak berpengaruh sebagai informasi
genetik yang ada.
Stoolmiller
(1998) menimbulkan pertanyaan lebih atas desain proyek pengadopsian di Texas
dan menunjukkan bahwa terdapat “perkiraan yang terlalu rendah dari lingkungan
keluarga bersama”. Bagaimanapun, klaim ini dibantah oleh Loehlin dan Horn
(2000).
Evaluasi
Bukti ini menunjukkan bahwa biasanya ada
korelasi yang lebih tinggi antara anak dan orangtua kandung mereka daripada
orang tua angkat mereka, yang merupakan bukti pengaruh genetik. Bagaimanapun,
di awal bab ini kami meninjau proses pencocokan yang terjadi dalam pengadopsian.
Jika lingkungan yang dicocokkan
sulit untuk menunjukkan bahwa genetika lebih berpengaruh dalam menentukan kecerdasan.
Perbandingan saudara yang diadopsi dapat dilihat memiliki kelemahan karena
mengasumsikan bahwa pengalaman anak-anak dalam satu keluarga adalah sama, yaitu
lingkungan adalah konstan. Penelitian menunjukkan bahwa orang tua saudara
kandung dalam keluarga yang sama mungkin memiliki pengalaman yang cukup
berbeda. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengalaman ini adalah: urutan
kelahiran, jenis kelamin, temperamen / kepribadian dan pengalaman orangtua.
Oleh karena itu apabila berada dalam keluarga yang sama tidak menjamin
lingkungan yang sama, yang sekali lagi menempatkan beberapa hasil dan penelitian
yang dipertanyakan.
Selain itu, Kaufman (1999) menunjukkan bahwa IQ
orang tua angkat dan anak-anak yang tinggal bersama mereka (0.19) yang serupa
dengan orang tua biologis dan anak yang hidup terpisah (0,22). Hal ini bertentangan
dengan penemuan dari proyek pengadopsian di Texas dan tidak menunjukkan bahwa
pengaruh genetik jauh lebih berpengaruh daripada lingkungan. Jika hal ini
terjadi, korelasi kedua harus jauh lebih tinggi.
2.1.2.
Faktor
Lingkungan
Sejauh
ini bukti untuk dan menentang informasi genetik untuk menentukan kecerdasan
telah ditinjau. Evaluasi penelitian telah menyarankan bahwa lingkungan mungkin
memang berpengaruh pada beberapa batasan tertentu dalam menentukan kecerdasan. Pembagian
dalam bab ini akan membahas sejumlah faktor lingkungan dan meninjau penelitian empiris
yang dilakukan untuk menentukan pengaruh faktor-faktor pada kecerdasan yang
diukur.
a.
Penelitian
Pengadopsian
Pada
bagian sebelumnya kita telah meninjau penelitian pengadopsian terutama dalam
menyelidiki peranan genetika. Di sini kita meninjaunya untuk menyelidiki
peranan permainan lingkungan. Scarr dan Weinberg (1983) menemukan bahwa
anak-anak yang diadopsi memiliki nilai IQ yang berada 10 sampai 20 poin lebih
tinggi (rata-rata) daripada orang tua kandung mereka. Ini bisa jadi karena
keluarga angkat umumnya lebih baik secara finansial dan anak-anak di lingkungan
tersebut dapat mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Scarr dan Weinberg
(1977) juga mempelajari anak berkulit hitam yang diadopsi oleh keluarga berkulit
putih. Seperti yang disarankan sebelumnya keluarga ini memiliki keuangan dan status
pendidikan yang lebih tinggi dari keluarga aslinya. Rata-rata IQ anak-anak berkulit
hitam adalah 106, dan 110 ketika mereka diuji jika mereka diadopsi dalam waktu
12 bulan setelah lahir. Hal ini dibandingkan dengan IQ rata-rata anak-anak berkulit
hitam dengan latar belakang genetik yang sama tetapi latar belakang lingkungan yang
miskin. IQ anak-anak adalah 90. Jadi Scarr dan Weinberg memberikan bukti bagi
peranan lingkungan.
Schiff, dkk(1978)
menemukan bahwa anak-anak yang lahir pada orang tua yang memiliki status sosial
ekonomi yang rendah dan kemudian diadopsi ke dalam keluarga berstatus ekonomi
sosial yang tinggi menunjukkan keuntungan IQ yang signifikan bila dibandingkan
dengan anak-anak yang tinggal di lingkungan aslinya.
Capron
dan Duyme (1989) mempelajari 38 anak-anak Prancis yang diadopsi dalam masa
pertumbuhan. Setengah dari anak-anak ini orangtua biologis berada pada kelas
menengah atau atas, setengahnya memiliki pekerjaan atau orang tua biologis yang
berada pada kelas bawah. Beberapa bayi yang diadopsi ke dalam keluarga yang
berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi dari orang tua biologis mereka, beberapa
kedalam keluarga dari kelas sosial yang lebih rendah. Anak-anak dibesarkan di
rumah kelas atas memiliki nilai IQ 15-16 poin lebih tinggi dibandingkan dengan anak
pada rumah kelas bawah terlepas dari memperhatikan rumah pada kelas orang tua
biologis mereka. Penelitian ini menekankan pentingnya lingkungan dalam
perkembangan kecerdasan yang diukur.
Evaluasi
Awalnya seorang
anak yang diadopsi, maka semakin besar peningkatan intelektual mereka. Hal ini
menunjukkan bahwa lingkungan adalah faktor yang penting dan berpengaruh ketika
diberikan dalam keadaan yang sesuai. Usia tampaknya merupakan faktor penting.
Bukti menunjukkan bahwa lingkungan yang paling berpengaruh adalah pada tahun
pra-sekolah.
Studi yang melibatkan
anak-anak dari kebudayaan yang berbeda terbuka untuk dikritik. Tes IQ telah
dikritik karena bias budaya (lihat selanjutnya di bawah bias test). Mereka
dianggap berdasarkan sekitar nilai-nilai kelas menengah berkulit putih, ide dan
pengalaman. Oleh karena itu perbaikan pada skor anak berkulit hitam mungkin pada
kenyataannya tidak ada perbaikan intelektual. Mereka mungkin tidak akan ada
lebih cerdas, tetapi karena mereka dibesarkan dalam keluarga berkulit putih
faktor diukur dengan tes IQ menjadi lebih akrab dan karena itu mereka melakukan
yang lebih baik. Sebagai contoh, saya akan gagal tes ujian tertulis dalam
bahasa yang berbeda, tetapi jika diartikan saya bisa lulus. Sama halnya jika
tes menggunakan benda asing yang tidak dikenal dan contoh saya gagal - jika
saya kemudian datang dan berhubungan dengan benda-benda tersebut dan contoh
saya lebih menyukai untuk lulus. Saya tidak lagi cerdas, saya hanya memahami
aturan yang lebih baik.
Keluarga angkat biasanya
lebih kecil dan memiliki status keuangan dan pendidikan yang lebih baik.
Faktor-faktor ini membuat pengaruh lingkungan semakin kuat.
Meskipun penelitian yang
dilakukan oleh Capron dan Duyme (1989) menyarankan pentingnya lingkungannya,
faktor genetik juga ditemukan sangat penting dalam penelitian ini. Anak-anak
yang orangtua biologisnya berasal dari latar belakang status ekonomi sosial
yang lebih tinggi memiliki IQ yang lebih tinggi daripada anak-anak yang
orangtua biologis berasal dari latar belakang status ekonomi sosial rendah,
tanpa memperhatikan lingkungan.
b.
Penelitian
Keluarga
Kaufman
(1999) memberikan bukti betapa pentingnya pembagian lingkungan dengan mengacu
pada penelitian keluarga. Ia menemukan bahwa korelasi untuk saudara yang dibesarkan
bersama-sama (0.47) lebih tinggi dibandingkan mereka yang dibesarkan secara
terpisah (0,24). Dia juga menemukan bahwa terdapat pereplikasian oleh orang tua
dan anak-anak yang hidup bersama memiliki korelasi yang tinggi dengan skor IQ
(0.42) daripada mereka yang tinggal secara terpisah (0,22). Ini memberikan
bukti bagi pentingnya lingkungan bersama dan pengaruh lingkungan terhadap
perkembangan kecerdasan yang diukur. Jika lingkungan tidak begitu penting, skor
bisa diharapkan menjadi serupa dalam kedua kondisi tersebut.
Evaluasi
Korelasi
yang masih cukup rendah yang menunjukkan bahwa faktor lain juga berpengaruh
dalam perkembangan IQ.
c.
Status
Sosial Ekonomi
Faktor
lain yang telah diteliti adalah status sosial ekonomi (SES). Sejumlah
penelitian telah dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan antara status
sosial ekonomi dan tingkat kecerdasan.
Bernstein
(1971) berkonsentrasi pada perbedaan bahasa antara keluarga SES rendah dan
keluarga SES tinggi. Dia menyarankan dari penelitian tersebut bahwa anak-anak
dari keluarga SES rendah memiliki kode bahasa terbatas sedangkan anak dari
keluarga SES tinggi memiliki kode bahasa yang rinci. Ini berarti bahwa pada
anak-anak dari keluarga SES rendah bahasa yang mereka miliki tidak memiliki
konsep-konsep yang abstrak, yang membuat proses penyulitan informasi. Hal ini,
Bernstein menyarankan, pengaruh perkembangan kognitif dan kecerdasan verbal
mereka, dan argumen ini mendukung gagasan bahwa kecerdasan sebenarnya bisa
dikaitkan dengan status sosial ekonomi.
Sebuah penelitian
longitudinal umum yang diikuti anak sejak lahir sampai remaja, dilakukan oleh
Sameroff et al. (1987). Hal ini dikenal sebagai Penelitian Longitudinal Rochester
dan dimulai pada tahun 1970-an. Penelitian ini diikuti sekitar 200 anak. Penelitian
ini mengidentifikasi 10 faktor yang dapat mempengaruhi skor IQ. Faktor-faktor tersebut
bukanlah pengaruh genetik tapi lingkungan.
Faktor-faktor
tersebut adalah:
·
Penyakit mental orang tua
·
Kecemasan orangtua yang serius
·
Ayah yang tinggal jauh dari keluarga
·
Anak adalah anggota kelompok minoritas
·
Empat atau lebih anak-anak dalam keluarga
·
Banyaknya tekanan pengasuhan kehidupan orangtua
pada anak pra-sekolah
·
Kurangnya interaksi ibu dan perhatian yang
positif
·
Kebiasaan pengasuhan orangtua yang kaku dalam perkembangan
anak
·
Kurangnya pendidikan menengah pada orang tua
·
Kurangnya pengasuhan orangtua
Semakin banyak faktor yang dihadapi seorang
anak maka semakin rendah skor IQ yang mereka dapatkan. Setiap faktor tampaknya
mengurangi IQ sebanyak 4 poin.
Evaluasi
Labov (1970) mengkritik penelitian Bernstein
dengan menyatakan bahwa ia bingung akan linguistik dan kekurangan sosial.
Artinya,buruknya kemampuan bahasa tidak sama seperti lingkungan sosial yang
buruk. Labov juga mengklaim bahwa Bernstein telah gagal untuk memperhitungkan penelitian
tentang bahasa inggris non-standar. Beberapa anak menggunakan bahasa inggris secara
berbeda dari orang lain dan hal ini tidak diperhitungkan.
Meskipun penelitian Sameroff seakan menunjukkan
bukti tingkat kecerdasan IQ yang terkait dengan status sosial ekonomi, hal ini
sebenarnya menunjukkan bahwa faktor yang terkait dengan kepemilikan kelompok status
sosial ekonomi yang lebih rendah, dan bukan status sosial ekonomi itu sendiri
yang mempengaruhi IQ.
Faktor lain untuk dipertimbangkan adalah bahwa
individu-individu dalam kelompok yang berstatus sosial ekonomi rendah mungkin
secara genetika kurang cerdas yang menyebabkan mereka tidak mencapai secara
mendidik dan karenanya menghasilkan orang yang tidak memiliki kemampuan/semi
skill pegawai dan menjadi bagian dari kelas bawah. Hal ini, kemudian, adalah
sebuah argumen bagi genetika bukan lingkungan. Jika kecerdasan ditentukan
secara genetis, tentu secara logika bahwa individu dengan IQ yang lebih rendah
akan memiliki status sosial ekonomi yang lebih rendah (Flanagan, 1997).
Faktor-faktor lain yang bukan merupakan genetik
dapat dihubungkan dengan pengasuhan orangtua. Orang tua memiliki pengaruh besar
terhadap lingkungan di mana anak-anak mereka berkembang. Bagian berikutnya akan
membahas sejumlah faktor lingkungan lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan.
d.
Pola
Makan
Benton
dan Cook (1991) menyediakan sekelompok anak-anak dengan suplemen vitamin dan sekelompok
kontrol diberi plasebo. Ketika IQ anak-anak diuji, anak-anak yang mendapatkan
suplemen mengalami peningkatan nilai IQ sebesar 7,6 poin dan kelompok plasebo
mengalami penurunan sebesar 1,7 poin. Hal ini adalah penelitian buta ganda dan
karenanya anak-anak tidak tahu apa yang diharapkan. Hasilnya sangat cukup
dipaksakan.
Daley,
Whaley, Sigman, Epinosa dan Neumann (2003) mencatat bahwa banyak penelitian
telah menunjukkan bahwa tingkat IQ telah meningkat dari waktu ke waktu -
peningkatan ini dikenal dengan istilah Efek
Flynn. Mereka menyatakan bahwa hasil dari 20 negara-negara industri telah
menunjukkan keuntungan IQ besar dari waktu ke waktu. Mereka berpendapat bahwa diantara
alasan untuk peningkatan ini adalah nutrisi yang lebih baik pada anak-anak.
Penelitian ini dapat membantu menjelaskan mengapa anak-anak dari kelompok SES
yang rendah memiliki IQ lebih rendah, seperti diet yang seringkali terjadi pada
orang miskin dan hal ini dapat mempengaruhi IQ mereka.
Berkman,
Lescano, Gilman, Lopez dan Black (2002) menyelidiki efek malnutrisi kronis pada
kemampuan kognitif. Mereka menguji anak-anak pada usia 9 tahun dan menemukan
bahwa mereka yang memiliki pola makan yang buruk dan pertumbuhan terhambat pada
usia 2 tahun dengan skor 10 poin lebih rendah pada tes kognitif pada usia 9 tahun
dari teman sebayanya yang tidak kekurangan gizi. Black menyarankan bahwa
penelitian ini menekankan pentingnya gizi bagi anak di bawah 3 tahun, sekali
lagi memberikan bukti hubungan antara makanan dan kemampuan kognitif.
Penelitian
yang dilakukan pada anak yang tinggal di perumahan kumuh di India menunjukkan
gizi buruk sebelum berusia 6 bulan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
IQ (Choudhary, Sharma, Agarwal, Kumar, Sreenivas, & Puliyel, 2002). Sekali
lagi ini menunjukkan adanya hubungan antara diet awal dan kecerdasan.
Benton
(2001) mengomentari penelitian hasil penelaahan yakni menyelidiki hubungan
antara suplemen gizi dan tingkat kecerdasan pada anak-anak. Dalam 10 dari 13 penelitian
memberikan respon positif terhadap suplemen ini setidaknya bagian dari sampel
eksperimental. Bukti menunjukkan bahwa tidak semua anak menanggapi suplemen
tetapi sebagian kecil anak-anak memberikan respon, dan memiliki efek terutama
pada kemampuan non-verbal mereka. Namun, tampaknya anak-anak yang merespon pola
makan yang terdiri dari tingkat nutrisi yang rendah. Mungkin hasilnya
menunjukkan tingkat normal yang berfungsi pada diet normal.
Evaluasi
Suatu masalah dengan penyelidikan
terhadap pola makan adalah hal tersebut sulit sepenuhnya memantau pola makan individu
dan karenanya harus benar-benar yakin asupan makanan. Hal ini membuat
kesimpulan tentang hubungan antara diet dan kecerdasan menjadi dipertanyakan.
Masalah lain adalah bahwa untuk menggambarkan pengaruh diet faktor lain harus
konstan, untuk menunjukkan bahwa diet menujukkan suatu perbedaan. Sulit untuk
memantau semua faktor lingkungan sehingga sulit untuk menunjukkan bahwa diet
adalah faktor yang menentukan. Argumen ini dapat dilihat jika kita kembali ke
penelitian awal pada anak-anak India yang tinggal di sebuah kota kumuh.
Meskipun diet awal diidentifikasi sebagai pengaruh dalam menentukan IQ, begitu
pula pendidikan dan perumahan anak pra-sekolah. Anak-anak di perumahan yang tetap
memiliki IQ yang lebih tinggi dan lebih mungkin untuk menghadiri pra-sekolah. Sama
halnya seperti penelitian yang dilakukan pada Efek Flynn juga mengidentifikasi kemampuan
menulis orang tua dan struktur keluarga sebagai faktor yang mempengaruhi
peningkatan tingkatan IQ. Mungkin sulit untuk membangun hubungan antara faktor
lingkungan dan IQ.
e.
Stimulasi Orang Tua
Hart dan Risley (1995) melakukan penyelidikan perkembangan jangka
panjang. Mereka memfokuskan pada interaksi verbal. Mereka menemukan bahwa semua
anak mulai berbicara pada usia yang sama namun ada perbedaan pada usia 3 tahun.
Anak-anak yang berasal dari keluarga profesional memiliki kosakata yang lebih
luas dari anak kelas pekerja. Hart dan Risley mengaitkannya dengan perilaku
orangtua. Mereka menyarankan suatu hubungan antara stimulasi orangtua dan
perkembangan bahasa.
Caldwell dan Bradley (1978) menemukan korelasi antara skor IQ yang
tinggi dengan faktor-faktor berikut: pengasuhan emosional responsif, penyediaan
bahan bermain yang tepat, kesempatan untuk bermain dan belajar, harapan orang
tua. Skor IQ yang bagus dihubungkan dengan orang tua yang mengharapkan
anak-anaknya dapat mencapai suatu pencapaian dan suatu pembelajaran. Caldwell
dan Bradley mengembangkan skala yang disebut Rumah Observasi untuk Pengukuran Lingkungan
(HOME). Mereka menemukan skor rendah pada skala HOME dalam masa pertumbuhan
yang dikorelasikan dengan skor IQ rendah di sekolah.
Crandell dan Hobson (1999) menemukan bukti hubungan antara
keterikatan dan IQ. Sebuah sampel dari 36 ibu yang dibagi menjadi dua kelompok
berdasarkan respon mereka terhadap sebuah wawancara yang terlampir dan
kuesioner. Para ibu diberikan suatu tes IQ dan anak-anak diberi versi secara singkat.
Interaksi ibu-anak dinilai dengan menggunakan rekaman video. Anak-anak dari ibu
yang aman bernilai 19 poin lebih tinggi dalam tes. Suatu sub-kelompok dari 12
ibu yang aman dan 12 ibu yang tidak aman dicocokkan dengan skor IQ, dan masih
ada perbedaan yang signifikan antara skor IQ anak-anak. Hal ini menunjukkan
bahwa keterikatan lebih banyak pada suatu faktor yang berpengaruh daripada IQ
orangtua. Penelitian ini menekankan pentingnya keterikatan dan lingkungan
sosial anak dalam perkembangan pengukuran kecerdasan.
Sigman, dkk (1988) menemukan bahwa orang tua dari anak-anak yang
memiliki IQ tinggi berbicara kepada mereka sering kaya dalam bahasa dengan cara
yang rinci dan akurat, sekali lagi hal ini menggambarkan pentingnya stimulasi
orangtua. Laundry dkk (1996) menemukan bahwa orang tua dari anak-anak yang
memiliki IQ tinggi bekerja di ZPD (lihat Bab 3) - mereka berbicara dengan
anak-anak mereka hanya di atas level pemahaman mereka saat ini dan menggunakan
strategi untuk membantu mereka mempelajari keterampilan yang baru. Pianta dan
Egeland (1994) menemukan bahwa orang tua dari anak-anak yang memiliki IQ lebih
tinggi memberi mainan kepada mereka sesuai dengan usia dan bermain.
Sebuah proyek yang berjudul Proyek Abecedanan diikuti bayi dari tingkatan
keluarga miskin yang ibunya memiliki skor IQ rendah. Anak-anak ditugaskan untuk
salah satu dari dua kelompok – suatu kontrol atau kelompok eksperimental. Pada
kelompok kontrol, anak-anak diberi suplemen gizi dan perawatan medis. Pada
kelompok eksperimen, anak-anak diberi kedua faktor ini, tetapi juga diperkaya dengan
perawatan siang hari. Hal ini dimulai pada umur 6-12 minggu dan berlanjut
sampai anak-anak yang dimulai TK. Skor IQ yang lebih tinggi untuk kelompok
eksperimen pada setiap tes antara umur 2 dan 12 tahun - 44% kelompok kontrol
memiliki batasan skor IQ dibandingkan dengan hanya 12,8% dari kelompok
eksperimen (Ramey & Campbell, 1987; Ramey, 1993).
Penelitian ini sekali lagi terlihat menunjukkan betapa pentingnya
lingkungan yang kaya dalam mengembangkan pengukuran kecerdasan. Memang kekayaan
lingkungan lebih berpengaruh daripada suplemen dan perawatan medis. Sekali lagi
harus diakui bahwa anak-anak dapat menerima banyak stimulasi dan dorongan
pendidikan sebagai konsekuensi dari IQ tinggi orang tua mereka. Dengan demikian
orang tua yang memiliki IQ tinggi mungkin lebih menekankan pada pendidikan dan
stimulasi. Oleh karena itu hal ini tidak secara otomatis merupakan sebuah
argumen dari lingkungan - lingkungan yang dapat dibuat karena IQ yang tinggi ditentukan secara genetis.
Hal ini penting untuk mengenali keuangan sebagai faktor. Orang tua
dengan IQ tinggi cenderung memiliki pekerjaan yang lebih baik dan karena itu pendapatan
lebih pakai. Hal ini memungkinkan untuk pembelian mainan yang sesuai dengan bahan
pembelajaran dan dukungan pendidikan tambahan.
Perlu dicatat bahwa keterikatan adalah subjek controversial yang
tinggi. Dalam penelitian Crandell dan Hobson asumsi yang dibuat bahwa perbedaan
tingkat IQ hanya karena perbedaan dalam lampiran. Namun, masalah dengan
keterikatan mungkin menunjukkan masalah di daerah lain pada lingkungan sosial
dan emosional anak, yang mungkin disembunyikan oleh fokus pada keterikatan.
Plomin dan Petrill (1997) menunjukkan bahwa setengah dari prediksi
Home perbedaan dalam kemampuan kognitif anak dapat dipertanggungjawabkan oleh
faktor genetik dan bukan lingkungan.
f.
Urutan Kelahiran
Zajonc dan Markus (1975) menyelidiki urutan kelahiran dan IQ, dan melihat
skor IQ dari 40.000 laki-laki Belanda. Mereka menemukan bahwa skor IQ menurun
dengan ukuran keluarga dan urutan kelahiran. Hal ini bisa jadi karena setiap
anak dilahirkan dari orang tua yang membagi perhatian dan waktu yang lebih, dan
keuangan seiring menjadi teregang.
Zajonc (2001) mengembangkan sebuah model yang disebut model
pertemuan. Model ini menyatakan bahwa kecerdasan setiap anggota keluarga bergantung
pada anggota keluarga lainnya. Dia menunjukkan bahwa setiap anak berturut-turut
datang ke sebuah lingkungan intelektual yang lemah dan bahwa lingkungan
intelektual dapat memperbaiki dengan penurunan ukuran keluarga. Bagian dari
alasan bahwa anak sulung cenderung memiliki IQ yang lebih tinggi bahwa mereka
bertindak sebagai tutor untuk saudara mereka, dan karenanya mereka mengajar dan
menjelaskan hal-hal kepada mereka sehingga meningkatkan pemahaman mereka
sendiri dan IQ. Sebaliknya anak-anak muda tidak mempunyai penjelasan ide-ide,
dan lain-lain selalu memiliki jawaban yang siap - anak-anak muda tidak karena
harus mengembangkan pemikiran mereka dan keterampilan penalaran begitu banyak.
Evaluasi
Hubungan antara urutan kelahiran dan kecerdasan memiliki
pertentangan yang sangat besar. Lowery (1995) menguji tingkat kecerdasan
pelajar dan mengumpulkan informasi tentang urutan kelahiran. Dia menemukan
tidak ada hubungan yang siginifikan antara urutan kelahiran dan kecerdasan dan
menyimpulkan bahwa urutan kelahiran tidak mempunyai efek pada kecerdasan.
Rodgers, Cleveland, Van den Ooord dan Rowe (2001) mengklaim bahwa keterikatan hubungan
antara urutan kelahiran dan kecerdasan hanya sebuah khayalan dan penelitian
mereka tidak menemukan hubungan yang tetap diantara faktor-faktor ini.
2.2. Perkembangan Terkini Dalam
Penelitian Kecerdasan
2.2.1. Pendekatan Psikometri
Kecerdasan
Argumen untuk dan terhadap pentingnya genetik dan lingkungan faktor
dalam perkembangan pengukuran kecerdasan telah ditinjau. Tetapi, sebagaimana
disebutkan dalam pengantar, perdebatan tentang asal-usul perbedaan individu
dalam tingkat kecerdasan telah memasuki daerah baru dan telah berpindah ke pemfokuskan pada pertanyaan-pertanyaan baru
dan penting.
Kline (1991) seorang pendukung pendekatan psikometri kecerdasan.
Pendekatan ini berusaha untuk mengidentifikasi korelasi diantara perbedaan
aspek kecerdasan. Pendekatan ini menyarankan bahwa seorang individual yang
dilihat sebagai kecerdasan memiliki skor yang lebih tinggi pada perbedaan
pengukuran kecerdasan. Kemudian mereka melihat memiliki suatu faktor kecerdasan
umum. Pendekatan psikometri menunjukkan bahwa faktor umum ini dapat dikenal
sebagai 'g' dan bahwa 'g' umumnya untuk semua kemampuan pemecahan masalah. Pendekatan
psikometri menunjukkan bahwa 'g' dikombinasikan dengan kemampuan khusus di
daerah tertentu untuk membuat kecerdasan seseorang di daerah tersebut. Misalnya
seorang musisi akan memiliki 'g' + faktor musik, seorang matematikawan berbakat
akan memiliki 'g' + faktor matematika. Jadi Kline yang menyatakan bahwa
terdapat faktor umum kecerdasan, yang merupakan hal mendasar untuk memecahkan
masalah di daerah, dan ini dikombinasikan dengan kemampuan khusus. 'g' terdiri
dari dua jenis kecerdasan - kecerdasan cairan dan kecerdasan mengkristal.
Kecerdasan cairan adalah kemampuan penalaran dasar. Kecerdasan crystallised adalah
kemampuannya ini ditunjukkan melalui keterampilan yang dinilai oleh budaya yang
di mana seorang invidu tinggal. Jadi seorang individu mungkin hanya memiliki
sebuah kemampuan dasar dalam matematika, tetapi hal ini diperlihatkan dan
diakui ketika mereka menjadi seorang akuntan.
Pendekatan psikometri menunjukkan bahwa 70% perbedaan kecerdasan
karena faktor biologis dan 30% karena faktor lingkungan (Sternberg &
Wagner, 1986). Pendekatan ini bergerak jauh dari sifat dasar memelihara
perdebatan dan memberikan penjelasan untuk kecerdasan. Namun, telah dikritik
karena tidak menjelaskan apa 'g' sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya
(Sternberg, 1986). Sekarang akan dibahas, perkembangan kecerdasan untuk seumur hidup
dan bukan kematangan saja, dan hal ini sulit untuk penjelasan pendekatan
psikometrik.
2.2.2. Kontribusi Plomin
Plomin dan Petrill (1997) menyarankan bahwa kecerdasan yang
diperdebatkan telah berpindah jauh dari sifat alaminya – pengasuhan persoalan.
Disini terdapat asumsi umum yang menyatakan bahwa kecerdasan secara genetika
yang didasarkan harus disempurnakan dan tidak dapat diubah. Jadi jika anda dilahirkan
cerdas, anda tetap cerdas, dan jika tidak, anda tetap tidak bodoh. Plomin dan
Petrill berpendapat bahwa bahkan jika ada dasar genetik untuk kecerdasan ini
masih bisa dipengaruhi oleh pengalaman lingkungan baru. Mereka mengakui bahwa umur
75 tahun penelitian anak kembar, Penelitian keluarga dan penelitian pengadopsian
telah memberikan bukti yang kuat untuk pengaruh genetika. Namun, mereka
memperkirakan pengaruh keterwarisan sebesar 50% bukan 80% seperti yang telah
disarankan. Menariknya dan yang lebih penting, Plomin dan Petrill telah
menemukan bahwa pengaruh keterwarisan bukan merupakan faktor statis. Asumsinya
adalah bahwa anda dapat mengidentifikasi pengaruh keterwarisan dan bahwa ini
adalah pengaruh pengaturan. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa
keterwarisan meningkat dari 20% pada masa bayi menjadi 40% pada anak usia dini
menjadi 60% pada masa awal dewasa menjadi 80% di kemudian hari (Plomin, 1997).
Sebuah penelitian di Swedia anak kembar dibesarkan terpisah dan bersama-sama
memberikan dukungan bagi keterwarisan meningkat. Penelitian ini menghasilkan
perkiraan keterwarisan 80% pada usia 60 tahun, dan ini diulang tiga tahun
kemudian (Pederson et al., 1992). Jadi keterwarisan tidak konstan dan hal ini
menjadi lebih penting karena merupakan kemajuan kehidupan.
Namun, Plomin dan Petrill mengakui bahwa ada beberapa masalah
dengan mempelajari keterwarisan. Kebanyakan penelitian telah dilakukan di
Amerika Serikat dan Eropa, dan karena hasilnya mungkin menjadi bias budaya.
Penelitian juga difokuskan pada kisaran normal kecerdasan dan ada sedikit
penelitian tentang tingkat kecerdasan tinggi dan rendah, yang dapat memberikan
informasi penting untuk memahami perkembangan pengukuran kecerdasan. Akhirnya
sebagian besar penelitian dilakukan pada anak-anak dan, sebagai penelitian
terbaru Plomin menyarankan, sangat penting untuk mempelajari orang dewasa atau
melakukan studi longitudinal untuk sepenuhnya menyelidiki keterwarisan. Selain
faktor-faktor ini ada kritik umum tes IQ (lihat sebelumnya).
Bergerak pada dalam penelitian kecerdasan, Plomin menggunakan
penelitian genetik untuk menunjukkan bahwa ada hubungan antara kemampuan yang
berbeda, dan bahwa beberapa kemampuan lebih diwariskan dari orang lain.
Misalnya, kemampuan spasial dan lisan tampaknya lebih diwariskan dari kemampuan
memori. Selain itu, peneliti telah mulai menggunakan apa yang dikenal sebagai
analisis genetik multivariat untuk menyelidiki hubungan antara kemampuan yang
berbeda. Sederhananya, tampak bahwa beberapa kemampuan yang lebih kuat
berhubungan dengan orang lain, dan memiliki tingkat pengaruh genetik yang kuat dan
tumpang tindih, sehingga jika anda memiliki kemampuan verbal yang baik anda mungkin
juga memiliki kemampuan spasial yang baik (Plomin & DeFries, 1979).
Namun demikian walaupun Plomin tampaknya berkonsentrasi pada
pengaruh genetika dan heritabilitas, ia juga tertarik pada lingkungan. Jika 50%
dari perbedaan nilai IQ dapat dijelaskan dengan keterwarisan, ini harus berarti
bahwa 50% lainnya tidak didasarkan genetik. Plomin menunjukkan bahwa sebagai hal
yang penting untuk berkonsentrasi pada pengalaman lingkungan non-berbagi
seperti pada berbagi pengalaman. Dia menunjukkan bahwa pembagian faktor
lingkungan bersama yang dijumlahkan sekitar 30% dari perbedaan IQ. Namun,
Plomin komentar pada penelitian yang dilakukan oleh Loehlin, Horn dan Willerman
(1989) yang merupakan tindak lanjut penelitian pada 10 tahun dari 181 saudara
kandung yang diadopsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara nilai
IQ mereka adalah 0,26 pada usia 8 tahun, tetapi pada usia 18 tahun adalah -0.1. Ini menunjukkan bahwa lingkungan
keluarga bersama mungkin memiliki efek awal pada IQ, tetapi efek ini berkurang
pada masa remaja. Ini menegaskan saran awal Plomin bahwa keterwarisan menjadi
lebih penting bagi segala umur.
Plomin menunjukkan bahwa penelitian ke dalam lingkungan keluarga
harus jelas dirancang untuk memisahkan pengaruh genetika dan lingkungan. Ia
juga menyarankan bahwa anak-anak secara aktif memilih dan mengembangkan
lingkungan mereka, dan bahwa ada interaksi aktif antara genetika dan
lingkungan. Oleh karena itu gen benar-benar dapat mempengaruhi dan
berkontribusi terhadap pengalaman lingkungan. Kita sering berpikir bahwa itu
adalah lingkungan yang mempengaruhi individu, tapi Plomin menunjukkan bahwa gen
dapat berinteraksi dengan lingkungan, membuat perbedaan pengalaman,
pembelajaran dan perkembangan kecerdasan.
Perkembangan terbaru dalam perdebatan kecerdasan adalah penelitian
genetik, yang berusaha untuk mengidentifikasi gen-gen tertentu yang bertanggung
jawab untuk pengaruh genetika terhadap kecerdasan. Penelitian ini mencoba untuk
mengidentifikasi gen yang dapat ditampilkan sebagai kontribusi terhadap
kecerdasan. Tujuannya bukan untuk mengidentifikasi gen tunggal - pemikirannya
adalah bahwa ada banyak gen, yang memberikan kontribusi pada perbedaan tingkat
kecerdasan antara individu. Penelitian yang cenderung yang memfokuskan pada gen
terkait dengan gangguan - misalnya Sindrom Fragile X - tetapi penelitian ini
menemukan hubungan antara gen spesifik dan gangguannya, yang menunjukkan dasar
genetik ke bagian kecerdasan. Penelitian juga telah mengidentifikasi gen yang
terkait dengan kecerdasan yang rendah (Wahlsten, 1990).
Implikasi dari penelitian serupa bahwa anak-anak mungkin berbeda
dalam kemampuan mereka untuk belajar, setidaknya sebagian, karena alasan
genetik. Hal ini akan memiliki implikasi pendidikan yang nyata dan sulit untuk
melihat bagaimana hal itu bisa ditanggapi. Juga memungkinkan terjadi bahwa
anak-anak lebih cerdas secara genetik yang diprogram untuk belajar lebih cepat
dan belajar lebih banyak. Namun, interaksi antara genetika dan lingkungan tidak
boleh dilupakan.
Bagian ini telah menggambarkan perkembangan terbaru dalam
perdebatan kecerdasan. Hal ini penting untuk mengenali bahwa tes IQ yang
digunakan sebagai dasar untuk berbagai penelitian di bidang ini. Jika tes IQ cacat,
maka penelitian memproduksi penggunaan mereka juga menimbulkan pertanyaan.
Bagian selanjutnya akan meninjau isu seputar tes IQ.
2.2.3. Uji Kecerdasan dan Bias
Tentunya tes yang digunakan untuk pengukuran kecerdasan sangat
penting. Keputusan tentang pekerjaan dan penempatan pendidikan yang dibuat
berdasarkan hasil tes. Jika tes ini cacat, maka hasilnya juga akan menimbulkan pertanyaan,
karena keputusan selanjutnya berdasarkan hasil ini juga dipertanyakan. Keputusan
tentang sifat-mengasuh perdebatan juga didasarkan pada tes ini. Oleh karena itu
jika tes cacat maka seluruh perdebatan mungkin juga akan menimbulkan pertanyaan.
Jika kita merujuk kembali ke penelitian sebelumnya tentang anak kembar kita
dapat melihat bahwa hasil disajikan sebagai korelasi nilai tes IQ. Berdasarkan
hasil dari peneliti yang membuat keputusan tentang apakah genetika atau
lingkungan lebih berpengaruh dalam menentukan perkembangan kecerdasan. Namun,
jika tes IQ tidak bisa dipercaya, maka terdapat kesimpulan setiap penggambaran dari
mereka. Richardson (2002) menunjukkan bahwa tes IQ adalah ukuran status sosial
ekonomi dan bukan kecerdasan.
2.2.4. Bias Kebudayaan
Munculnya tes kecerdasan ditulis untuk budaya tertentu dan
karenanya individu dari budaya lain mungkin berkinerja buruk pada mereka
meskipun mereka sebenarnya mereka bisa sangat cerdas. Code, Gay, Glick dan
Sharp (1971) mempelajari orang Nigeria yang menyelesaikan tugas pengelompokkannya,
yang secara konsisten gagal sampai mereka diminta untuk menyelesaikannya
sebagai seorang yang bodoh. Kemudian mereka menggunakan kategori Eropa dan
lulus ujian!
Sebelumnya kami meninjau Scarr dan Weinberg (1983) melakukan penelitian
terhadap anak angkat berkulit hitam yang
menggambarkan peningkatan nilai IQ mereka ketika diadopsi oleh keluarga berkulit
putih. Jelasnya, jika tes IQ ditulis untuk suatu budaya orang berkulit putih
kelas menengah, maka sebagai anak-anak menghabiskan waktu di lingkungan ini mereka
mengambil nilai-nilai dan keterampilan yang sesuai dan karenanya dapat meningkatkan
kinerja mereka. Ini tidak menunjukkan adanya perbaikan nyata dalam kecerdasan.
Heath (1989) mempelajari anak berkulit hitam dan ibu mereka dan menemukan bahwa
ibu berkulit hitam menanyakan pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang panjang,
yang membantu pendidikan umum anak-anak mereka tetapi tidak mempersiapkan
mereka untuk jawaban pendek yang diperlukan pada tes IQ. Hal ini menunjukkan
bias budaya.
Craig dan Beishuizen (2002) menunjukkan bahwa adanya kemungkinan tes
IQ bias budaya dan apa yang mereka mungkin sebenarnya adalah pengujian
efektivitas pendidikan antarbudaya - yaitu, seberapa efektif anggota kelompok
minoritas yang telah disosialisasikan kedalam budaya Barat dan karena itu dapat
menjawab pertanyaan yang disajikan dalam cara bias budaya.
2.2.5.
Motivasi dan kecemasan
Zigler dkk (1973) menemukan
bahwa anak-anak yang berada pada SES rendah meningkatkan kinerja tes mereka
jika mereka diizinkan untuk bermain dengan penguji sebelum ujian dimulai. Terdapat
efek yang kurang dengan anak SES menengah.
Pengharapan guru juga termasuk
faktor. Dalam suatu penelitian oleh Rosenthal dan Jacobsen (1968), guru
diberitahu bahwa masing-masing anak diharapkan untuk membuat kemajuan besar.
Informasi ini secara langsung mempengaruhi cara dimana guru berinteraksi dengan
anak-anak. Dengan demikian informasi yang menjadi suatu nubuat yang terpenuhi.
Perilaku guru yang mempengaruhi kinerja anak-anak, dan anak-anak yang telah
diidentifikasi pada awalnya terlihat
untuk membuat kemajuan. Kemajuan anak-anak yang dibuat tidak berdasarkan
tingkat kecerdasan mereka pada awal penelitian, tetapi tampaknya didasarkan
pada harapan guru dan perilaku selanjutnya terhadap mereka. Anak-anak yang
diidentifikasi memiliki keuntungan IQ yang sangat besar, menunjukkan suatu
nubuat yang terpenuhi. Kami akan melakukannya dengan baik jika kita mengharapkannya,
dan kami mengetahui hal ini.
2.2.6.
Evaluasi Tes IQ
Semua
faktor ini menunjukkan bahwa hasil tes IQ dapat menimbulkan pertanyaan dan
tingkat IQ tidak selalu ditetapkan. Hal ini menyebabkan para peneliti
mempertanyakan apakah kecerdasan bisa benar-benar diuji dengan cara ini, dan
apakah kecerdasan bukan tentang ketentuan kualitas tertentu tetapi lebih baik
dianggap sebagai kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi. Garlick (2002)
menunjukkan bahwa orang-orang dengan IQ rendah berkinerja buruk karena mereka
tidak bisa beradaptasi dengan baik dengan situasi lingkungan. Mereka yang
tampak cerdas adalah mereka yang dapat menyesuaikan diri dan pengetahuan untuk
situasi yang berbeda.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa uji kecerdasan telah dibuat untuk mengukur perbedaan
aspek kecerdasan. Pertanyaan mendasar adalah apakah kecerdasan ditentukan oleh
alam atau diasuh. Dalam lain hal untuk
menyelidiki pengaruh genetika, para peneliti telah menggunakan anak kembar,
keluarga dan penelitian adopsi. Para peneliti juga telah mengidentifikasi faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan pengukuran kecerdasan. Ini
termasuk kelas sosial, diet, stimulasi orang tua dan urutan kelahiran. Tes IQ
yang digunakan untuk mengukur kecerdasan, tetapi mereka telah dikritik atas
dasar bahwa bias budaya mereka dan bahwa hasil tes dapat dipengaruhi oleh
motivasi dan kecemasan. Hasil Anak bisa meningkat atau tertekan oleh
unsur-unsur dari tes tersendiri.
Masih banyak perdebatan
mengenai apa kecerdasan dan bagaimana harus diukur. Tidak ada jawaban yang
jelas untuk pertanyaan tentang berapa banyak kecerdasan anak yang ditentukan
oleh alam dan berapa banyak yang diasuh. Penelitian telah memberikan bukti
untuk faktor-faktor yang tampaknya berpengaruh dalam menentukan tingkat
kecerdasan. Namun, tes yang digunakan untuk mengukur kecerdasan telah dikritik.
Hal ini menimbulkan pertanyaan baru tentang sifat kecerdasan. Penelitian dan
perdebatan dalam perkembangan pengukuran
kecerdasan akan tetap terus dilanjutkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Oakley, L.
(2004). Cognitive Development. London & New York : Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar